Kejadian membatalkan puasa qadha karena ingin bersetubuh bisa terjadi karena kurang komunikasi antara suami dan istri, hal ini bisa menyebabkan masalah dalam keluarga. Disatu sisi ada kewajiban sebagai suami istri, disisi lain ada kewajiban kepada sang Khaliq yang harus dilakukan.
Dalam Alqur’an Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-namalmu. (QS. Muhammad: 33)
Dalam ayat ini, Allah melarang kita membatalkan amal di saat kita tengah mengerjakannya. Termasuk diantaranya amal wajib yang telah kita kerjakan.
Ketika fathu Mekah, Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anhu sedang puasa. Tiba-tiba datang seseorang membawa segelas minuman. Ummu Hani’ langsung mengambilnya dan meminumnya.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكُنْتِ تَقْضِينَ شَيْئًا
“Apakah kamu akan mengqadhanya?”
Ummu Hani menjawab: ‘Tidak’
Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَلاَ يَضُرُّكِ إِنْ كَانَ تَطَوُّعًا
“Tidak masalah, jika itu puasa sunah.” (HR. ad-Darimi 1736, Baihaqi dlam al-Kubro 8134 dan sanadnya dinilai dhaif oleh Syaikh Husain Salim Asad)
Dalam hadis lain, dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani)
Karena itu, para ulama mengatakan, mereka yang telah melaksanakan puasa wajib, seperti puasa ramadhan, puasa qadha atau puasa nadzar, tidak boleh membatalkannya tanpa ada udzur yang syar’i. Seperti sakit atau safar atau lainnya.
Ibnu Qudamah mengatakan,
ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه؛ لأن المتعين وجب عليه الدخول فيه، وغير المتعين تعين بدخوله فيه، فصار بمنزلة الفرض المتعين، وليس في هذا خلاف بحمد الله
Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ain, menjadi wajib ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan, alhamdulillah.. (Al-Mughni, 3/160 – 161).
Baca juga ulasan Puasa Ayamul Bidh Dihari Tasyriq.
Sedangkan membatalkan puasa qadha karena ingin bersetubuh, bukan termasuk alasan syar’i.
Bagaimana jika ini tuntutan dari suami?
Didalam ketaatan harus ada prioritas. Taat kepada makhluk dibolehkan, selama tidak melanggar kewajiban kepada Khalik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Ahmad 1095 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Karena itu, agar puasa yang dilakukan istri tidak menjadi masalah dalam keluarga, hendaknya sebelum melaksanakan puasa qadha, istri memberi tahu atau membuat kesepakatan dengan suaminya, kapan waktu untuk berpuasa, sehingga kejadian membatalkan puasa qadha karena ingin bersetubuh tidak terjadi. Semoga Allah memberkahi keluarga kita semua.
Allahu a’lam.
Sumber: syariahislam.com